Baby Breath (Sasuhina ffn) ch. 6
Hinata yang tengah terlelap, tiba-tiba membuka mata dari tidurnya. Peluh keringat pun membasahi keningnya. Bertanya, kenapa hawa malam ini begitu panas. Padahal ia juga tak memakai baju tidur yang tak terlalu tebal. Lalu ia menyadari sesuatu, pendingin ruangan ternyata tidak menyala. Lalu tiba-tiba kesadarannya muncul, ia teringat, dan dengan panik membangunkan badannya.
"Ya, Tuhan!"
Sasuke, sang suami yang jadi sumber kegilaan harinya ternyata telah tertidur memunggungi dirinya. Hinata justru menghela napas lega. Ini sudah malam ketiga Sasuke pulang tanpa sepengetahuannya. Seperti yang diketahui, akhir-akhir ini Sasuke jadi lebih sibuk.
Namun begitu, ia masih menyempatkan diri untuk makan bersamanya, entah itu bisa di waktu sarapan pagi atau pun makan siang. Awalnya Hinata bingung apa yang membuat Sasuke tiba-tiba melakukan, biasanya pria itu selalu membuat alasan untuk menolaknya. Kini ini bukan masalah lagi, baginya ini perubahan yang bagus. Hinata hanya bisa bersyukur karenanya.
Kemudian setelah insiden di malam pesta itu, banyak gosip yang bertebaran di sekitar mereka. Beritanya pun menjadi headline di beberapa media. Bahkan dari sekian banyak gosip tak ada satu pun yang benar. Mulai gosip dari kelanjutan pertengkaran antara dirinya dengan Sakura yang berujung saling mencakar, lalu berita Sasuke yang menikahi Hinata hanya karena dia tengah mengandung anaknya, sampai menjelekkannya bahwa ia begitu pengecut karena enggan bertemu para wartawan.
Padahal kenyataannya, Sasuke tidak mengijinkan dirinya untuk mengklarifikasi. Terlalu beresiko. Begitu ditanya untuk keluar dari masalah ini, Sasuke dengan tidak acuhnya hanya berkata bahwa berita itu akan tenggelam sendiri bersamaannya dengan waktu.
Untung saja, rumah yang dibeli Sasuke adalah kawasan elit yang mempunyai sosial individual yang tinggi, sehingga sesuatu yg mengganggu ketenangan telah dilarang untuk masuk. Jika tidak begitu, Hinata tak dapat membayangkan para wartawan berkumpul di depan rumah, betapa merepotkannya hal itu.
Sejak itu Hinata jadi sibuk menghindari tatapan orang-orang. Di pesta itu, tak hanya wajah istri pertama, wajahnya sebagai istri kedua pun jadi dikenal banyak orang, sedangkan poligami adalah hal yang tabu di Jepang, dan itu dilarang oleh pemerintah. Tapi uang telah berbicara, sehingga mereka masih aman sampai sekarang.
Selama keluar rumah Hinata masih bersyukur masih menutup wajahnya. Lalu cafe tempatnya kerja paruh waktunya, sejak insiden itu Hinata jadi dipindahkan ke belakang demi tak banyak mengundang perhatian.
"Sekarang jam berapa Hinata?"
Sasuke yang menyadari pergerakan di sebelahnya turut terbangun. Seraya menolehkan kepala ke arah Hinata, dia mengucek matanya lalu menguap.
"Baru jam tiga pagi." Hinata pun ketularan menguap.
"Hn."
Kembali, Sasuke memunggunginya. Lagi-lagi seperti ini pikir Hinata. Ia merasakan sesuatu yang tak sesuai. Dalam khayalannya, ia telah membayangkan bahwa mereka akan mempraktekkan apa yang suami-istri lakukan dalam rumah tangga. Seperti mengobrol bersama sebelum mereka tidur, masak bersama dan hal-hal yang belum dilakukannya.
Apa karena Hinata terlalu banyak menonton drama romantis sehingga dia harus berfantasi hal-hal yang seharusnya tidak ada? Bukan berarti ia ingin melakukan hal romantis, hanya saja manisnya rumahtangga dalam drama terlihat sangat hangat dan dia yakin bisa mempraktekkannya di dunia nyata. Namun, tetap saja drama berbeda jauh dengan dunia nyata. Ia seharusnya tak berharap lebih, dengan Sasuke mau sedikit memperhatikan rumahtangga mereka saja sangat bagus.
Di samping itu semua Hinata hanya ingin melakukan hal yang terbaik. Meskipun hidup dengan seorang musuh pun, bukan berarti ia tidak boleh memperlihatkan sisi baik. Ia bahkan tidak peduli akan pribahasa air susu dibalas air tuba akan menimpanya kelak. Imbalan dari manusia tidak seharusnya selalu ada tiap kali ia berbuat sesuatu.
"Tolong bangunkan jam 6, aku harus pergi ke Chiba pagi-pagi." Gumam Sasuke yang terdengar setengah sadar.
"Chiba?"
'Bukankah di sana ada resort yang dibangun Fugaku?'
"Hn... Tiba-tiba saja Ayah ingin mengembangkan resort. Makanya aku disuruh memantau langsung ke lapangan"
"Pengembangan?"
Kali ini Hinata menanggapi dengan serius. Padahal dulu almarhum Madara tidak menyetujui proyek perkembangan itu. Ia tak tahu alasannya.
"Hn."
Ketertarikan Hinata mengundang perhatian Sasuke. Pria itu lantas membalikkan badannya. Saat tahu Hinata memakai baju tidur kimono yang cukup tipis, ia merasakan kesadarannya tiba-tiba terbangun. Tapi hal itu tak mengurangi kecurigaannya.
"Sepertinya kau tahu sesuatu?"
"T-tidak,"
Hinata yang menyadari tatapan intens Sasuke tak dapat menatap balik, ia justru memegangi dadanya dengan gugup,
"Ta-tapi... Bukankah almarhum Kakek tidak menyetujuinya dulu?" Lanjutnya yang kini terdengar berbisik. Akhirnya ia menyuarakan rasa penasarannya.
"Memang tidak."
Kini Sasuke sudah sepenuhnya tidak berbaring, "Resort itu hasil karya pertama Ayah yang sangat dibanggakannya, tapi almarhum Kakek membencinya."
"Kenapa?"
'Kenapa almarhum Kakek tidak menyukainya?'
Entah kenapa Hinata semakin tertarik. Dan anehnya ketertarikannya ini membuatnya takut. Ketika Hinata menanyakannya dulu, Madara selalu mengalihkan pembicaraan. Ada sesuatu yang disembunyikannya kala itu.
"Kenapa ya..."
Sontak jari-jari Sasuke perlahan menyingkirkan anak-anak rambut yang menghalangi wajah istrinya. Malam ini, ia merasa kalau Hinata terlihat cantik. Atau ini hanya ilusinya saja. Ia merasa tergelitik sehingga tak bisa menahan untuk menyentuhnya.
Sementara Hinata yang menyadari jarak mereka lantas menunduk. Suara Sasuke yang parau itu berbisik, menyentuh bulu kuduknya sampai menari. Jantungnya juga berdetak semakin tak beraturan, pipinya merona dan dia tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
"Mungkin karena investasi untuk membangun itu adalah hasil dari uang haram makanya Kakek tak suka."
Kening Hinata menekuk dalam. Uang haram dalam klan Uchiha bukan sesuatu yang baru, sedangkan Sasuke juga tahu itu.
"Kau mau tahu kenapa?"
Sasuke berbicara dengan hati-hati. Menatap lekat mata bulan Hinata yang kini memandanginya penuh tanya.
"Itu adalah hasil dari menghancurkan sebuah keluarga."
"Keluarga?"
Jantung Hinata seperti berhenti berdetak. Jari Sasuke mengangkat dagunya. Pria itu sepertinya menikmati getaran yang terpancarkan pada sorot matanya.
"Hn. Satu-satunya keluarga —ah bukan, sebuah klan kecil yang mampu menyaingi klan sebesar Uchiha. Klan Hyuuga."
Bagaikan mendapat serangan angin di wajahnya manik Hinata berkedip-kedip cepat. Ia pernah sekali mendengar nama klan itu, tapi dulu ia tak terlalu tertarik.
Klan Hyuuga...
Nama yang masih asing di telinga akan tetapi terasa familiar dihatinya.
Ada apa ini?
Hinata merasa benang merahnya tertarik.
"Apa Sasuke-kun tahu tentang klan Hyuuga?"
"Tidak terlalu banyak informasi tentang mereka."
'Baik wajah mereka atau informasi setelah kejadian itu, berita mereka seakan tertelan bumi.'
"Oh..."
Ada sedikit nada kecewa di sana.
Saat pembantaian klan tersebut, Sasuke baru berumur enam tahun. Jika ditanyakan apakah dia masih ingat, tentu saja tidak terlalu. Dia hanya ingat ayahnya melarangnya masuk sekolah selama sebulan dengan dalih sekolah libur lebih awal. Pembantaian itu terjadi kala salju pertama kali turun. Dan sekolah sekitarnya terpaksa memajukan masa liburan mengingat situasi makin buruk. Sedangkan pemerintah daerah saat itu agak alot dalam mengambil sikap.
Pembantaian itu tak dilakukan secara sekali aksi melainkan secara bertahap. Ayahnya waktu itu dibantu oleh kelompok Yakuza, sehingga dia mampu melakukannya dengan mudah. Kasus pembantaiannya pun menjadi bahan berita yang di goreng selama sebulan.
Kasus itu bisa di bilang paling sadis dalam sepanjang kasus pembunuhan yang terjadi di Jepang kala itu.
Sasuke tak tahu apa yang melandasi ayahnya melakukan pekerjaan kotor tersebut. Hingga di saat umurnya sudah matang, almarhum Madara mulai bercerita. Selain pesaing, ayahnya ternyata mempunyai dendam pribadi. Berhubung salah satu kelompok Yakuza marah karena bisnisnya diganggu oleh klan Hyuuga, maka mereka ingin membalas dendam, dan di saat itulah ayahnya masuk menawarkan jasa dengan iming-iming bekerjasama dengan perusahaan Uchiha.
Ayahnya memang tak turun langsung, dia hanya menjebak korbannya masuk ke dalam perangkap. Imbalan dari kesuksesan misinya, Fugaku mendapatkan uang yang banyak dari yang diperkirakan.
Lalu Sasuke teringat perkataan yang mengakhiri cerita dari almarhum, "Dendam itu seharusnya tak ada, dan itu semua salahku."
"Kalau Sasuke-kun pergi... Apakah kau akan menginap?" Tanya Hinata yang membuyarkan ingatannya akan masa lalu.
Sejenak Sasuke beberapa kali mengedipkan matanya. Ia menatap manik bulan Hinata yang seolah tengah memohon padanya. Kemudian dengan seksama dia memperhatikan wajahnya. Di balik mata yang besar itu, Sasuke sadar sepenuhnya bahwa Hinata hanya memandanginya.
Awalnya Sasuke tak terbiasa dipandangi seperti itu, namun lama-lama ia menjadi sedikit bersimpati. Ia kemudian menyadari bahwa Hinata merasa kesepian. Hal yang wajar wanita itu merasakannya karena selama ini ia terbiasa selalu bersama kakek Madara dan Itachi.
Kini anehnya, cara Hinata memandanginya telah membuat hatinya bergetar. Lalu hidungnya yang kecil nan mancung itu, tangannya gatal sekali untuk mencubitnya. Belum lagi pipinya yang mudah sekali merona itu, membuat Sasuke ingin menciumnya. Lalu diperparah dengan bibir yang sesekali di gigit oleh pemiliknya, itu begitu ranum sehingga Sasuke sempat berkhayal untuk mencicipinya. Namun ia bersyukur tombak kesabaran Sasuke masih berdiri tegak.
Entah kenapa setiap Sasuke berniat melakukannya, ia selalu teringat Sakura yang menangis. Walaupun Sakura bilang sudah menerimanya, namun nada suaranya begitu memilukan. Jelas istrinya belum sepenuhnya rela melepaskan Sasuke pergi kepada Hinata, padahal Hinata terbilang istri suaminya. Ya, Hinata adalah istrinya.
Seperti halnya pada minggu kemarin, saat semalaman tidur bersama Hinata, pagi-pagi buta Sakura menelepon dirinya untuk bersegera pulang. Hari minggu yang harusnya hari awal dirinya bergiliran tidur di rumah Hinata, jadi gagal karena ia harus menemani Sakura ke rumah orang tuanya. Tapi, untung saja Hinata tidak marah, ia bahkan tidak membahasnya atau menuntutnya lebih.
Sasuke terkadang tak habis pikir, terbuat dari apa hati Hinata. Wanita itu terlihat biasa-biasa saja, sementara Sakura telah mencuri waktunya yang malah terlihat kepanasan
Oleh sebab itulah, Sasuke harus meralat cara pandangnya terhadap Hinata yang bodoh akut itu. Wanita itu malah penuh dengan bakat. Selain mengetahui apa yang dibutuhkannya, akhir-akhir ini Hinata telah beberapa kali membantunya mencari solusi masalah pekerjaan. Jika dibandingkan Karin, Hinata justru lebih terorganisir. Wanita itu sesungguhnya orang yang bisa di ambil pendapatnya. Masakannya pun memiliki level yang tinggi jika dibandingkan Sakura.
Wajar saja kalau almarhum kakeknya melabeli Hinata sebagai Yamato Nadeshiko.
"Hn, aku akan tetap pulang walau telat."
"Oh..."
Hinata kemudian menoleh ke arah lain. Lagi-lagi pulang telat... pikirnya yang sedikit kecewa,
"Baik..."
'Aku jadi tidur duluan lagi.'
"Kenapa hn..?"
Jari-jari Sasuke menarik dagu Hinata lagi, dan entah kenapa dia mulai suka adegan ini. Apalagi dengan respon Hinata yang mencoba menolak, itu terlihat imut baginya.
"T-tidak ada apa-apa!" Hinata menggeleng seraya mengelak tarikan pesona manik Sasuke. Wanita itu baru sadar jarak mereka semakin menyempit. Dia masih belum siap.
Tetapi, hal yang dilakukan Sasuke selanjutnya sungguh mengejutkan. Dengan hitungan detik dan satu tarikan, Hinata langsung berada didalam pelukan pria itu. Dalam seketika manik Hinata terbelalak. Sasuke memeluknya. Dan ini kedua kalinya.
Tak pelak ingatannya juga turut terbuka. Posisi tidur mereka pada minggu pagi itu. Kehangatan kasur yang baru dia rasakan. Dan debaran yang menggila itu. Hinata merasa ingin meledak.
"Pria tua itu benar-benar mempekerjakanku seperti robot. Jadi aku minta maaf."
Hinata sontak terenyuh.
Sasuke kembali meminta maaf?
Permohonan maaf kali ini tampaknya berbeda. Ini bukan karena Sakura, tapi Sasuke memohon untuk dirinya sendiri. Hinata tak sadar menarik senyumannya. Di dalam pelukan, malu-malu dia mengangguk. Dia lagi-lagi dibuat terpesona oleh sisi Sasuke yang ini. Apakah ini awal subuh yang baik?
Jika malam hari adalah puncaknya hari, maka awal hari adalah subuh. Awal hari dimana tempat Tuhan menebarkan rahmatnya. Awal di mana yang baik bagi yang mencari kebaikan. Awal hari itu dipanggil dengan subuh.
.
.
.
Bergetar, tubuhnya bergetar. Di tangan itu, ia telah memegang sebuah surat. Surat yang tidak biasa. Bertuliskan dengan warna merah pekat, warna darah. Surat ancaman.
Seketika tubuhnya lunglai lalu berpegang pada loker. Tak pelak kertas di tangannya jadi bahan pelampiasan kecemasan. Kemudian maniknya menyusuri ruangan, memastikan tak ada orang lain selain dirinya. Ketika dirasa aman, dia memeriksa lagi isi surat itu.
'Aku akan membunuhmu, Jalang!'
Kembali menahan napas. Ini sudah kesekian kali dalam seminggu ini. Surat bernada menakutkan ini melubangi ketenangannya.
"Hinata, kau harus kuat!" Lirihnya menguatkan diri.
Tiba-tiba ingatannya akan masa lalu terbuka. Dunia luar yang disangkanya lebih indah dari panti, nyatanya tak sepenuhnya indah. Masa-masa itu sangat berat baginya yang baru keluar dari panti. Hinata yang awal pertumbuhannya tak mendapatkan perawatan baik, di sekolah pun dia selalu terkena perundungan hingga membuatnya stress berat sampai mengambil home schooling.
Untung saja waktu itu ada Itachi atau Madara yang menjadikan hidupnya berharga. Tapi, sekarang perjalanan hidup Hinata telah berubah drastis. Sudah trauma lama belum sepenuh hilang kini ia harus menghadapi hal lain. Untuk itulah beberapa hari ia harus bolak-balik lagi ke psikiater sendirian. Permasalahan kasus ini pun telah ia laporkan ke kantor polisi, dan sampai saat ini kasus itu masih diusut.
"Hinata-san, kau kenapa?"
Hinata hampir saja melonjak kaget saat seseorang menyapanya. Orang itu salah satu rekan kerja yang bekerja di bagian pelayan, Hotaru namanya. Sejenak Hinata tersenyum, lalu buru-buru memasukkan surat itu ke dalam tas.
"Ya?" Hinata mencoba tenang, dia membuka seragamnya, "Aku baik."
"Kau terlihat pucat."
"Ah, benarkah?"
Hinata mengikat rambutnya, dan memantulkan dirinya di depan kaca,
"Kurasa aku kurang tidur saja,"
Tak lama, masuk lagi seorang —Saara- yang satu bagian dengannya, memotong pembicaraan mereka, "Kau belum balik Hinata? Bagaimana kalau nongkrong dulu? Kita kan sudah lama gak minum bersama... Aku yang traktir deh."
"Hush, Hinata-san kan sudah menikah! Bagaimana kalau suaminya menunggunya di rumah? Hinata-san tidak seperti kita... Dia sudah bersuami."
Hinata sejenak terdiam. Ucapan Hotaru tentang Sasuke yang menunggunya di rumah, tak mungkin akan terjadi. Pria itu bahkan sibuk mengurus Sakura yang juga mengalami stress berat sepertinya. Dari yang diinformasikan Karin, kasus Sakura lebih kepada pelecehan. Sebab itulah, jatah waktu mingguannya pun sampai dipakai oleh wanita itu.
Itu memang curang, akan tetapi biarlah Sakura sampai tenang dulu. Lagipula alasan ini akan jadi senjata terkuat jikalau suatu saat Sasuke menuntut hal yang tidak-tidak kepadanya.
"Lha, bersuami atau tidak, apa bedanya? Jangan kolot deh!"
"Tentu saja beda, Hinata-san wajib melayani suaminya."
"Suaminya juga tak membatasi istrinya!? Selama kasih kabar, pulang telat pun tidak masalah. Ya kan Hinata?"
Hinata sontak mengulum senyuman lalu mengangguk sebagai tanda setuju. Sasuke adalah tipe suami yang tidak terlalu mengekang istri-istrinya, asal tidak melewati batas. Dia juga bukan tipe yang mempermasalahkan jika istrinya pulang telat karena pada akhirnya Sasuke yang terakhir pulang. Sekali pun uang belanja lebih dari kata cukup, Sasuke juga tak melarangnya bekerja.
Lagipula suatu kebetulan temannya mengajak minum. Hinata juga sudah lama tidak jalan keluar untuk melepas kepenatan. Ia ingin sekali menghapus kekhawatirannya. Surat ancaman itu terus berputar-putar mengganggunya.
"Tapi, Hinata-san seperti lagi kurang sehat?"
"Justru itu... setelah minum kita bisa bugar!"
"Ngawur!"
"Ayolah Hotaru, kali ini aku yang traktir."
Hinata kemudian menggelengkan kepala melihat mereka beradu mulut. Ia pun lantas melihat jam di ponselnya. Jam 10 lewat 10 menit malam. Di waktu ini biasanya Sasuke masih sibuk di kantornya. Sedangkan minggu ini bukan gilirannya. Meskipun misalnya Hinata memintanya, ia yakin pria itu tak akan datang.
"Sudahlah teman-teman... Aku akan ikut kalian."
Hinata menengahi mereka seraya tersenyum,
"Puas?"
"Yey!"
Saara sontak menggandeng tangan Hinata dan Hotaru untuk menyambut kegembiraannya.
"Baiklah... ayo pergi!"
Sebelum mereka benar-benar pergi, Hinata sempat mengirimkan pesan pada Sasuke. Dia hanya mencoba bukan berharap. Entah kenapa dia ingin pria itu di sisinya malam ini?
'Sasuke-kun, bisakah kau pulang?'

Komentar
Posting Komentar