Baby Breath (Sasuhina ffn) ch. 4
Hari kembali berjalan cepat semenjak kedatangan Sasuke pada akhir pekan kemarin. Sementara perayaan ulang tahun perusahaan diadakan malam sabtu. Hinata yang bagian dari keluarga Uchiha pun juga turut diundang. Untuk pertama kali inilah dia tak datang bersama almarhum Madara dan Itachi yang sontak membuatnya gugup.
Atensinya pun teralihkan seketika, pada tas yang berisi bingkisan. Beberapa jam lalu, Sari datang mengantarkan bingkisan. Ini berasal dari Sasuke katanya. Yang Hinata yakin bahwa Karin jugalah yang mengurusnya. Pria Uchiha itu terlalu sibuk mengurus pekerjaan, bahkan hadiah untuk istri tercinta pun terkadang Karin yang memilih.
Tergelitik oleh rasa penasaran, Hinata sejenak mengintip ke dalamnya, ia kemudian membuka bingkisan tersebut. Betapa terkejutnya ia saat tahu, bahwa di dalamnya terdapat gaun pesta yang harganya terbilang mahal untuknya.
Gaun pesta yang panjang melebihi mata kaki. Warnanya yang sepekat malam, dengan model kerah V yang belahannya terbuka sampai di bawah dada, serta tambahan pernak-pernik mengkilap di bagian dada dan tumpukan kain tule pada bagian roknya. Belum lagi belahan roknya yang tingginya sampai setengah paha. Ini sangat mewah dan seksi pikirnya.
Hingga saat tahu jam sudah menunjukkan empat sore, Hinata lantas bersiap-siap. Dengan bantuan vpelayan yang memiliki umur yang tak jauh dari Hinata, tak butuh waktu lama untuk berdandan.
"Wah, Hinata-sama anda cantik sekali!" puji pelayan yang diketahui bernama Matsuri.
Rambut yang digulung longgar, anting panjang terbuat dari berlian yang dia dapat dari mas kawinnya serta makeup yang terkesan glamor namun memamerkan pancaran natural pada dirinya. Melihat ini, Hinata terkadang belum percaya kalau dia juga bisa jadi secantik ini. Kekuatan make-up sungguh mengerikan.
"Terimakasih Matsuri-san, ini berkat dirimu juga."
"Aku yakin Sasuke-sama akan terpesona melihat Nyonya."
Mendengar ini, senyum Hinata pun lantas memudar. Seorang Sasuke yang memujinya adalah hal yang terakhir dipikirannya. Pria Uchiha itu bahkan terlalu buta untuk melihat wanita selain Sakura. Sedangkan dirinya terlalu pemalu untuk tampil stand out. Dan meskipun secantik apapun dirinya berdandan, Sasuke tak akan meliriknya sebagai wanita.
Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan angka tujuh malam. Hinata yang sudah disiapkan sopir oleh Sasuke pun langsung berangkat menuju tempat acara. Hatinya berdebar. Telapak tangannya mulai terasa dingin. Ini pertama kalinya tampil bersama dengan Sasuke dan Sakura. Dalam hatinya terus memanjatkan doa, semoga rencananya berjalan dengan baik malam ini.
Tetapi ada hal yang tak pernah diketahuinya, hal yang tak ingin dialami Hinata ataupun semua orang. Tiada yang akan tahu bahwa di dalam pesta itu, Sakura memakai gaun yang sama dengan Hinata.
.
.
.
PLAK!!
Satu tamparan meluncur cepat di pipi. Suaranya yang keras mengundang perhatian orang. Suasana yang semula ramai itu langsung berubah sunyi senyap. Tak lama kesunyian itu pun disusul dengan suara riuh potretan dari kamera para wartawan. Orang-orang di sekitar pun juga ikut menghebohkan suasana. Ini datang begitu cepat tanpa mengetuk kesadaran.
"Apa yang kau lakukan?"
Hinata, sepemilik pipi yang ditampar lantas tak dapat menyembunyikan wajah kagetnya. Ia telah ditampar sesaat high heels-nya menginjak ballroom hotel. Dan pelakunya adalah Uchiha Sakura, istri Uchiha Sasuke yang tercinta.
"Lihat dirimu!" Seru Sakura yang menunjuk gaun yang dikenakannya,
Melihat itu, mata bulan Hinata sontak membulat. Gaun yang mereka kenakan benar-benar mirip. Hinata yang baru tersadar menekan kepanikannya.
'Kenapa gaunnya sama?'
"Sasuke-kun memang bekerjasama dengan dirimu, tapi ketahuilah batasanmu!" Desis Sakura yang memanggil sekali lagi perhatian Hinata, jarinya kemudian mengetuk-ngetuk dada Hinata dengan keras. Dia tidak terima keserasian di antara mereka.
"Jangan samakan diriku dengan dirimu! Akulah, istri yang dicintainya."
Seketika itu wajah Hinata berubah dingin. Orang-orang mulai membicarakan mereka. Tapi, sepertinya Sakura belum puas dengan sekali tamparan. Emosi masih memeluk dirinya seiring dengan tangannya yang terangkat.
Sementara, Hinata yang mengetahui akan situasinya berniat menepis. Ia tak segan menatap tajam emerald Sakura. Akan tetapi, malam ini keberuntungan masih dipihaknya, baru saja Sakura ingin melayangkan tangannya kembali, tiba-tiba sja Sasuke yang datang entah darimana segera menangkap tangannya
"Sakura kendalikan dirimu!" Sasuke menggeram.
Pria itu datang dengan kemarahan besar di pundaknya. Sakura telah melewati batas.
"Lepaskan Sasuke-kun!"
Sakura yang tak terima perlakuan Sasuke lantas menyentak tangannya kasar.
"Lihat sekitarmu! Atau mau kutarik pulang!"
Kini Hinata memandang dingin Sasuke, tetapi pria itu tak menggubris tatapannya. Sampai akhirnya Sakura tersadar akan situasinya, wanita itu memundurkan tubuhnya.
Mereka telah terjebak. Image kedamaian dalam rumah tangga yang ingin dibangun pun seketika runtuhnya. Api cemburu Sakura yang menggagalkannya, ia telah bertindak kekanakan di depan Sasuke dan Hinata.
Ah, seorang Uchiha Sakura bisa ceroboh juga ternyata.
Enggan mengakuinya, Sakura berlari keluar yang kemudian dikejar oleh Sasuke. Sedangkan Hinata yang merasa kakinya dipaku hingga ke dalam tanah mengepalkan tangannya. Pipinya masih terasa panas dan memerah. Tidak ada lagi Madara yang menjadi tamengnya. Tidak lagi Itachi yang jadi pelipur lara.
Uchiha Sasuke bahkan tak menatap balik dirinya.
Hinata seorang diri di pesta bak perahu tanpa awak di lautan. Ia tak boleh terlihat lemah, ia harus kuat pikirnya. Tanpa mempedulikan wajahnya, Hinata mengangkat dagunya. Orang-orang mulai menggunjing serta mencemooh. Manik bulannya seketika berkilat. Tak ada waktu untuk menikmati pesta. Jalan keluar adalah tujuannya sekarang.
Tapi tanpa disadari oleh mereka, dari kejauhan sesosok pria tua yang menyaksikan kejadian tadi menyeringai. Ia menegak habis minumannya. Sesuai rencana, ini telah berjalan dengan lancar.
.
.
.
Malam itu adalah malam yang dingin bagi Hinata. Setelah keluar dari pesta itu, ia mengabaikan teriak sopir dan membiarkannya membuntuti dari belakang. Kini, kaki yang dia bawa berjalan terasa begitu berat, dan hatinya yang berkecamuk juga tak kalah sakitnya.
Tak lama gerimis hujan sontak memandikan tubuhnya. Sang sopir —Suigetsu- sontak keluar memayungi dirinya dan memberikan mantel. Seiring itu dia mencoba membujuk Hinata kembali ke dalam mobil. Tetapi, Hinata tak bergeming, pikirannya terlalu sibuk pada peristiwa di pesta tadi.
Bagaikan naik rollercoaster, datang dalam keadaan baik pulang dalam keadaan kekacauan. Bersyukurlah hujan turun tidaklah lama, sehingga Hinata memerintahkan Suigetsu kembali. Ia ingin mendinginkan kepala pesannya pada sang sopir.
Karena perintah Hinata tak terbantah, akhirnya Suigetsu menyerah. Wanita itu berakhir naik taksi, tapi sebelum itu ia sempat mendengar sang sopir mengumpat seraya menghubungi seseorang.
Tujuan Hinata kini adalah hotel. Tanpa mempedulikan keadaannya yang agak basah karena rintikan hujan, sampailah dirinya di hotel. Mengabaikan tatapan khawatir yang datang padanya, Hinata hanya mengulum senyuman. Begitu di kamar dia tak serta-merta melepaskan gaunnya, berbaring dan memeluk bantal justru memberikannya kenyamanan.
Hujan sepertinya belum mengeluarkan semua miliknya sehingga tak pelak suasana ruangan begitu panas dibuatnya. Untungnya, kulit Hinata telah dingin oleh hujan tadi mengabaikan semua itu. Sambil menatap cahaya lampu, rekaman ingatan peristiwa itu terus saja berputar di benaknya.
Kilat petir pun terlihat di jendela. Tangannya lantas memegang pipinya yang memerah itu, panas bekas tamparan itu pun juga masih menggerayanginya. Hinata sontak meringkuk. Memikirkan apa saja kesalahannya, dan membenci sikapnya yang insecure.
Dia paham sekali apa yang terjadi di pesta tadi. Bukannya Hinata ingin berburuk sangka, permainan yang dibuat orang itu begitu terasa. Hanya orang itu yang bisa melakukannya. Orang itu mencoba memberi pengaruh buruk. Pria yang mencoba mengendalikan hidupnya, Uchiha Fugaku.
Masih ingat di memorinya ketika Madara pertama kali membawanya ke kediaman Uchiha. Kesan pertama pertemuannya dengan Fugaku tidaklah bagus. Tatapan dingin itu menakutkan dirinya yang masih menginjak umur 10 tahun. Dan ejekan 'si anak pelacur' itu melekat di benak, yang terus menjadi tanda tanya besar hingga saat ini.
Pun, di saat dirinya memutuskan untuk menikahi Itachi pun, ia tak luput dari kelaliman orang itu. Bahkan saat menikahi Sasuke juga Hinata tak bisa bernapas lega.
Sampai suara pintu hotel terbuka kewaspadaannya pun sontak terbangun. Hinata lantas terbangun. Dia mengeratkan mantel yang dikenakannya dengan gusar. Lalu sosok yang dikenalnya muncul, kecemasannya pun menguap ke udara.
"Sa-sasuke-kun?" Ujar Hinata yang terheran.
"Hn."
"Sedang apa kau di sini? D-dan bagaimana kau bisa ma-masuk?" Tanya Hinata yang panik di kala Sasuke berjalan mendekatinya.
"Apa aku harus punya alasan untuk menemui istriku, Hinata?" Tanyanya balik.
Pria itu datang dengan setelan tuxedo yang masih melekat di tubuhnya sejak pesta tadi. Di tangannya juga terdapat membawa sesuatu. Dalam hitungan detik, kini ia berdiri menjulang di hadapan Hinata dengan mengatakan kalau ini bukan mimpi, eksistensinya ada —dan kuat.
Wanita Uchiha itu kemudian terduduk menjatuhkan diri di atas kasur. Hinata tak dapat berpikir apapun sekarang. Dengan pengamanan lemah, ia membiarkan Sasuke duduk di sampingnya. Ia bahkan diam saja saat Sasuke memegang dagunya.
"Coba kulihat pipimu."
Hinata terdiam. Dia tak suka kelemahannya ditampilkan. Mencoba buang muka pun nyatanya sia-sia, Sasuke memegang dagunya lebih tangguh dari yang dia kira. Apalagi pria itu berkata dengan lembut, yang Hinata yakin itu pasti kekeliruan.
Sementara itu, Sasuke memperhatikan pipi kirinya dengan seksama. Warna merahnya terlihat jelas di manik kelamnya. Sakura yang menampar Hinata mampir di benaknya begitu jelas.
Sesudah peristiwa tadi, Sasuke langsung membawa Sakura ke mobil. Peristiwa tadi sungguh membuatnya marah besar. Mereka sempat beradu mulut. Walaupun belum sepenuhnya terkendali, namun Sasuke berhasil memperingatinya.
Bagaimana Sakura begitu ceroboh? Dan kini ia bingung harus berbicara seperti apa pada Hinata?
Sasuke tahu kalau ini ulah ayahnya. Pria tua itu ingin membuktikan kepada para dewan komisaris bahwa Sasuke tidak bisa mengendalikan kedua istrinya. Jika Sasuke tak mampu memimpin haremnya maka dia juga tak mampu memimpin perusahaan. Itulah kesan yang ingin ayahnya perlihatkan pada mereka.
Tapi, bukan berarti ia tak mampu menghadapi masalah. Meskipun dulu dia memiliki puluhan pandangan buruk yang melekat di dirinya, itu tak akan berpengaruh. Hanya saja, jika seseorang pria tak mampu mengendalikan rumah tangganya, maka dia telah menjadi pria yang lemah. Beda ketika dia lajang dulu.
Yang barang tentu, peristiwa itu akan menjadi pembicaraan panas mereka esok hari. Dan menjadi alasan tidak logis mereka untuk meragukan kemampuannya. Padahal masalah rumah tangga tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan.
Sebelumnya Sasuke sudah memprediksi akan terjadi suatu yang buruk di pesta. Namun, ia tak pernah menyangka kalau ayahnya akan menyerang melalui istrinya. Dia juga memarahi Karin bahwa sekretaris itu telah melalaikan tugas. Ayahnya tengah mencuri suara dengan memanfaatkan istri Sasuke. Ayahnya begitu licik. Ini membuatnya kesal.
"Sakit?"
Sasuke mendesah kala manik Hinata masih menunduk terdiam.
Jujur, Hinata sakit. Bukan hanya pipinya, tapi juga hatinya. Biarlah dia pendam, tak ada gunanya mengungkapkan hal tersebut, apalagi mengungkapkan hal itu pada Sasuke. Ia masih kuat, bebannya tak perlu dibagikan pada orang lain.
Tak lama Sasuke membongkar apa yang dibawanya tadi. Perhatian Hinata sontak teralihkan. Beberapa setelan baju, dan obat salep yang beli di apotik dikeluarkan. Setelah mendapatkan laporan dari Suigetsu, meninggalkan Sakura yang mendinginkan kepala, dia sontak meluncur ke tempat yang diinformasikan.
"Aku bisa sendiri—"
"Diamlah, jangan buatku tak nyaman Hinata!"
Hinata yang menghentikan jari Sasuke saat dia hendak mengoles sesuatu ke pipinya itu pun terhenti, kini Sasuke akhirnya berhasil mengaplikasikan salep itu ke pipi.
"Ini akan sedikit perih, jadi tolong bertahanlah sedikit!"
Hinata sontak menutup erat matanya, kukunya pun menancap pada kain bedcover kala salep itu menyentuh kulitnya. Ada rasa sensasi dingin dan perih yang menggelitik. Meskipun Sasuke telah mengolesnya dengan hati-hati, namun sakit itu tak bisa terelakkan.
"Maaf."
Kelopak mata Hinata langsung terbuka saat mendengar kata sakral bagi sang Uchiha. Wanita itu lantas memalingkan mukanya ke samping, menghindari tatapan Sasuke yang terbilang menganggu dirinya; tatapan sedikit mengiba itu di luar dari karakter seorang Uchiha.
Hinata paham sekali Sasuke meminta maaf untuk siapa. Sebenarnya kelakuan Sakura terbilang manusiawi. Kecemburuannya tersebut tepat pada tempatnya. Wajar kalau Sakura marah padanya. Dan Hinata bisa mengerti itu, balik marah pun hanya melelahkan jiwa. Tapi, tetap saja tamparan itu menyakitkan.
Hinata terus berpikir, apa yang akan dia lakukan jika ia ada di posisi Sakura? Apakah dia akan melakukan hal yang sama? Atau dia hanya diam saja?
Sejak dulu Hinata tak suka keributan. Apalagi mencari musuh. Berdamai pada diri sendiri juga bukanlah hal yang buruk. Akan tetapi, terkadang sikap emosi bisa merubah segalanya, bahkan pada dirinya yang suka ketenangan ini. Bisa saja ia akan menggila emosi.
Hari esok sungguh tak bisa diprediksi.
"Maafkan kecerobohanku,"
Hal yang wajar jika menganggap kesalahan istri adalah kesalahan suami juga. Bagaikan sebuah cermin, apa yang ada di diri istri adalah cerminan dari suami. Karena bagaimanapun suami adalah kepala rumah tangga yang mempunyai tanggungjawab besar.
"Aku sudah gak memikirkannya, Sasuke-kun." Hinata meremasi tangannya, "Aku juga gak marah."
Sasuke terdiam sejenak. Tangannya mengepal. Ini yang ia benci dari Hinata. Entah karena wanita itu pada dasarnya baik hati atau memang bodoh akut, sehingga ia diam saja mendapatkan hal yang disebut oleh Sasuke sebagai penghinaan namanya.
"Lagipula ini gak sakit kok, sungguh." timpalnya yang justru tersenyum tulus.
Ini menyebalkan. Hinata bahkan tidak marah pada Sakura atau menyalahkannya atas semua yang terjadi.
'Dasar bodoh!'
Sasuke mendengus kesal. Sedangkan Hinata tampak acuh dengan sikapnya. Tak ada gunanya menghabiskan waktu hanya memikirkan sikap aneh Hinata. Tangannya kemudian teriring mengambil setelan baju pengganti dan toner pembersih wajah buat Hinata.
"Gantilah gaunmu, lalu bersihkan makeup-mu dengan ini, kau tak mungkin kan tidur dalam keadaan ini kan." tambahnya yang menyodorkan semua itu pada Hinata.
Sejenak Hinata menatap semua barang tersebut. Dia tak menyangka Sasuke akan berbaik hati padanya. Pria itu ternyata bisa perhatian juga. Atau ini rasa bersalahnya saja?
Apapun itu alasannya, bukankah buruk jika menolak semua ini?
"Kenapa kau hanya melamun saja? Apa kau mau aku melakukannya untukmu, hm?"
"E-eh!" Seru Hinata yang sedikit memucat kaget.
Tetapi, jika melihat wajah datar Sasuke, pria itu tak bermaksud menggodanya. Hinata bahkan malu karena pipinya mudah sekali merona.
Dia terkesan paling mesum di sini.
"Aku suamimu, Hinata." Tidak perlu malu, begitu gestur bahasa tubuh Sasuke menunjukkan.
Lagi-lagi memanfaatkan statusnya.
Hinata spontan menggeleng keras, sepertinya rona di pipinya makin memerah, dia kemudian berujar, "Ti-tidak, a-aku bisa sendiri. Terimakasih!"
Enggan berurusan dengan Sasuke lama-lama, Hinata segera beranjak pergi. Dengan tergesa-gesa, Hinata menyeret kakinya menuju kamar mandi dengan kesal.
Ini sungguh memalukan.
Jika saja telinga Hinata mampu menembus pendengaran sampai luar kamar mandi, mungkin saja saat ini dia bisa mendengar kekehan pria itu. Dan mungkin juga ini akan jadi malam pertama bagi mereka tidur dalam satu ranjang. Karena sepertinya Sasuke bersiap membuka tuxedo yang dikenakannya.

Komentar
Posting Komentar