Baby Breath (Sasuhina ffn) ch. 3
Hinata yang merasa sakit mendengar pernyataan Sasuke tadi lantas menyerang balik. Dia juga tak punya niat untuk melukai orang lain. Kalau bukan terpaksa mana mau dia melakukannya. Apalagi menikahi pria arogan macam Sasuke. Di samping itu, Hinata tahu benar kalau perceraian akan mengakibatkan konsekuensi yang begitu besar. Dia tak bodoh sampai tak bisa mengetahui itu.
"Jangan gila Hinata!" Desis Sasuke, "Sudah sampai sini, kenapa kau malah minta cerai? Seharusnya dari awal kau menolak!"
Hinata langsung membuang muka. Bagaimana bisa Hinata menolak?
Uchiha Fugaku malah mengancam dirinya saat itu dengan hal yang tak pernah dihadapi dalam hidupnya. Fugaku mengancam untuk menjual rumah itu dengan paksa. Di tambah ia tak membiarkan Hinata hadir dalam pemakanan Itachi. Dirinya yang masih kalut dalam kesedihan pun mau-tak-mau menurutinya.
Jika tidak, Fugaku pasti memakai cara kotor. Buruknya, ia mungkin akan mengorbankan nyawanya, Sakura yang tidak bersalah pun pasti kena imbasnya. Meskipun Hinata melarikan diri sampai ke ujung dunia pun ia akan tetap dikejar. Pertumpahan darah pasti masih akan tetap terjadi. Pria tua itu akan melakukan apapun demi mendapatkannya.
Sementara itu, Shikamaru yang ditunggu malah entah dimana keberadaannya.
"Kau sendiri juga tahu Ayahku seperti apa... Jika kita melakukannya, tak hanya nyawamu melayang, Sakura juga terancam."
Sasuke mengepalkan tangan sedangkan Hinata menautkan jemarinya tak nyaman.
Masih segar diingatan sang Uchiha ketika sang ayah menyuruh dirinya menikahi Hinata. Awalnya Sasuke menolak keras namun pria tua itu malah menyerang kekurangan Sakura. Pernikahannya dengan Sakura yang hampir menginjak 5 tahun belum saja dikaruniai seorang anak. Entah sejak kapan ayahnya tahu kalau Sakura mustahil memberikannya anak. Tetapi, sebaik apapun rahasia itu tersimpan ternyata baunya tercium juga. Dengan dalih itulah ayahnya mendorongnya.
Sebenarnya Sasuke tak mempermasalahkan keturunan. Ia pun juga tipe yang tak menyukai anak kecil. Hidup berdua saja dengan Sakura itu sudah cukup. Tetapi setelah lama menikah, hati kecilnya mulai goyah. Dia merasa ada yang kurang. Apalagi dengan tatapan Sakura terlihat sendu acap kali melihat sepasang suami-istri menggandeng anaknya.
Pernah Sakura memintanya untuk mengadopsi anak, yang jelas hal itu ditolak mentah-mentah olehnya. Meskipun seringnya Sakura memohon atau menyinggungnya, Sasuke tetap kukuh pada pendiriannya. Dia tak suka orang asing masuk ke kehidupannya. Dia lebih baik tak punya anak sama sekali daripada mengasuh anak dari orang asing.
Hingga ayahnya menawarkan ide gila itu. Menikah lagi. Seketika itu dunianya tak lagi sama.
Sasuke paham betul apa yang ada di otak sang ayah. Jika dia mempunyai keturunan dari Hinata, maka anak itu akan dimanfaatkan olehnya. Ini caranya mendepak Sasuke dari kursi komisaris utama. Walaupun almarhum sang kakek memilihnya sebagai ahli waris, namun hal itu bisa dibatalkan oleh para dewan komisaris yang lainnya, mengingat mereka sebagian besar berada di pihak ayahnya.
Seandainya kakeknya masih hidup, dia tak akan mungkin terseok-seok seperti sekarang ini. Membuang jabatannya pun tak mungkin ia lakukan. Sepuluh tahun ia berjuang mengabdi untuk perusahaan ini. Kebebasan dan waktu yang didambakannya telah dikuburnya dalam-dalam.
Namun, sekarang Sasuke masih bisa melonggarkan dasinya. Karena komisaris utama sementara dipegang adik dari kakeknya, Uchiha Izuna. Sebelum isi surat wasiat itu dibacakan, Sasuke masih punya waktu menyusun rencana untuk menyelamatkan semuanya.
"Bagaimana kalau kita bekerjasama?" Tawar Sasuke tiba-tiba,
Tangan Hinata tanpa sadar menggenggam erat gaun yang dikenakannya.
Kerjasama?
Kerjasama seperti apa tepatnya?
"Aku tahu kau membenci ayahku. Dan aku berniat menyingkirkannya." Tambahnya meyakinkannya.
Hinata tak pernah membenci seseorang dalam hidupnya. Dan hebatnya hanya Fugaku mampu menaruh api kebencian itu pada hatinya.
"Menyingkirkan bagaimana maksudmu?"
Hinata tentu penasaran. Kedua alis Hinata lantas berkerut curiga, dan firasat buruknya pun terlintas di benak.
"Jangan bilang..."
Kau akan membunuhnya, Hinata miris sedangkan Sasuke tersenyum kecut.
Kata banyak orang; keluarga Uchiha adalah klan tertua yang terpandang, yang kekayaannya mungkin tak akan habis sampai akhir dunia. Keturunan yang lahir hampir semua merupakan bibit yang sempurna.
Dari luar, masyarakat awan akan melihat sisi gemerlap klan Uchiha dengan segala kesuksesannya. Akan tetapi jika berada di dalamnya, maka mereka tak pernah tahu. Perbandingan keduanya sangatlah mencolok. Persaingan yang kuat memaksa mereka melakukan apapun. Termasuk pertumpahan darah sesama keluarga hal yang biasa bagi mereka. Mereka seakan terkena kutukan. Kutukan di mana kedamaian tak punya tempat untuk anggota klan Uchiha.
"Jangan berlagak polos Hinata! Kau sendiri juga tahu kelakuan busuk Kakek."
Mendengar hal itu, Hinata memeluk dirinya sendiri. Bulu kuduknya tak pelak menari. Ingatan buruk itu pun terlintas. Bagaimana kejam dan dinginnya Uchiha Madara. Pria yang melakukan apapun yang menurutnya benar.
Pernah suatu hari, Hinata yang ketahuan selalu di bully di sekolah membuat Madara marah besar. Dia tak segan-segan menghancurkan keluarganya. Dan jika waktu itu Hinata tidak memohon Madara untuk mengasihi mereka, mungkin mereka tak akan selamat. Belum lagi insiden yang lain, yang terbilang bermain victim. Hinata sendiri pun tak percaya bisa melewati itu semua.
Anehnya, meskipun almarhum Madara terkenal bertangan dingin, tak ada hal yang buruk menimpa dirinya. Kontras dengan kelakuannya di luar, pria tua itu bahkan menjadi ayah yang baik bagi Hinata di rumah. Dia bahkan mampu membuat Itachi bersandar padanya.
"Sampai satu tahun..."
Hinata memusatkan atensinya. Dia tak sadar menahan napas. Tatapan tajam bak elang itu menggetarkan relung hatinya.
"Teruslah di sisiku. Aku akan menjamin keselamatanmu." Ujarnya serius, "Dan setelah semua beres, aku akan menceraikanmu."
"Bagaimana kalau selama setahun kau tak dapat menyingkirkan ayahmu?"
Kemungkinan terburuk akan selalu ada, dan tidak mungkin Sasuke tidak memikirkannya.
"Aku akan mencari cara agar tetap menceraikanmu."
Tak lama suara ponsel tiba-tiba berdering. Suasana pun berubah. Sasuke segera menjauh ketika menerima panggilan telepon tersebut. Selama itu Hinata berpikir.
Ia mencoba menebak. 'Di sisiku' mengandung arti yang intim. Di sisi ini bisa diartikan senantiasa di sampingnya. Tapi sejauh mana?
Sebagai rekan?
Atau sebagai fungsi suami-istri?
Hinata butuh kepastian.
"Lalu hubungan ini mau dibawa kemana?" Tanya Hinata setelah Sasuke selesai dengan urusannya.
Kening Sasuke terangkat, pria Uchiha itu tampak berpikir sejenak. Jika yang di maksudnya adalah tentang pernikahan, maka akan ada perceraian.
"Kau bilang ingin bekerjasama denganku, kan? Apa kau nggak takut suatu hari aku berkhianat?"
Mendengar itu Sasuke malah menyeringai, "Kau bukan orang yang seperti itu Hinata."
Sejenak Hinata merasa terperanjat. Hatinya tergelitik tidak percaya. Ini identik yang dia suka dari klan Uchiha. Kepercayaan diri yang tinggi, kontras dengan dirinya yang gagap.
"Sasuke-kun, kau terlalu percaya diri."
"Hn." Sasuke mengidikkan bahunya, "Yang jelas, suka atau tidak.... pernikahan ini sah. Kita telah jadi suami-istri walau tanpa hati."
Sasuke kemudian mengangkat tangannya, dia berniat berjabat tangan dengan Hinata, "Jadi, mulai hari ini, mari kita bekerjasama memainkan peranan kita dengan baik. Aku sebagai suami dan kau sebagai istri."
Belum sembuh dari rasa kagumnya, Hinata sontak menundukkan kepalanya. Dia mengintip tangan Sasuke dari sela-sela poninya. Dia menggigit bibirnya. Walaupun sudah lama tahu watak keluarga ini, Hinata masih tak suka cara ekstrim mereka.
"Kerjasama ini... Apa untungnya bagimu, Sasuke-kun?"
Wajah tampan Sasuke tertekuk sedikit. Bagaimana bisa wanita itu bertanya seperti itu daripada sebaliknya? Sungguh aneh.
Lalu seraya melihat tangannya yang terabaikan, dia mendesah menarik tangannya kembali. Ini lebih kolot dari yang diprediksi. Seumur hidupnya, baru kali ini dia memohon pada orang yang selain dari keluarga sendiri.
"Tanpa mengetahui isi surat wasiat itu, aku sudah bisa menebak." Sahut Sasuke yang bersedekap dada, sedangkan wajah bingung Hinata tercermin jelas.
"Jadi, kau tak usah memikirkanku." Lalu pikirannya melayang.
Sisi gelap klan Uchiha, serta semua kegilaannya. Sasuke ingin memutuskan lingkaran yang telah menempel erat pada diri klan Uchiha. Tak ada lagi anak yang terbuang. Tak ada lagi persaingan yang tak sehat. Serta tak ada lagi pertaruhan nyawa. Dia akan mengatur ulang sehingga keturunannya kelak bisa memiliki hidup sehat.
Ya, hanya dia yang bisa merubahnya.
"Aku mau saja bekerjasama. Tapi kau bilang kita harus memerankan peranan ini. Apa akan ada kontak fisik?" Hinata masih harus menimbangnya, dia tak mau hal yang tak diinginkannya terjadi.
"Hn." Sasuke memutar bola matanya, apa dia harus memjelaskannya?
"A-apa?"
"Kalau kubilang kita harus memerankannya itu artinya akan ada kontak fisik. Termasuk mempunyai keturunan."
Hinata yang tak pelak kaget hampir beranjak dari tempatnya. Jantungnya berdetak cepat seiring perutnya tergelitik.
"Apa kita juga akan me-melakukannya?" Hinata menelan ludahnya dengan canggung.
"Seks... Tentu saja."
Hinata menekan gelagapannya. Hanya saja rona pipi itu tak bisa disembunyikan. Meskipun ia wanita dewasa namun hati dan tubuhnya masih murni. Dia tak punya pengalaman mencinta. Sedangkan cinta pertamanya dengan orang yang seperti Uchiha Itachi.
Lalu wajah dingin yang ditampakkan Sasuke membuat Hinata yakin. Pria itu tak main-main.
"Aku menginginkan keturunan dari diriku sendiri. Dan ada kau disini Hinata."
Hinata pun sadar memegang perutnya.
"Setelah melahirkannya kita bisa bercerai. Anak itu akan jadi tanggung jawabku. Dan kau bisa menengoknya sekali sebulan."
Itu artinya Hinata tak bisa memilikinya.
Apa itu tidak kejam?
Pernyataan dingin Sasuke melukai hati. Dia pikir Hinata wanita seperti apa?
"Sakura juga sudah tahu rencana ini. Dia akan menerima anak dari rahimmu."
"Bagaimana kalau selama setahun aku gak hamil?" Dia hanya tak mau mengecewakan.
"Aku akan melepaskanmu tanpa syarat."
Setelah mengatakan itu Sasuke kembali mendapat telepon. Ada nada kekesalan di suaranya. Pria Uchiha itu lantas pergi tanpa memandangi Hinata. Lalu tiba-tiba warna cerah awan berubah kelam. Hinata mendesah. Menatap langit yang semendung hatinya. Dia meratapi nasibnya, juga meratapi kecemasan yang menggerogoti hatinya. Ia memeluk perutnya gusar, seolah-olah di sana ada kehidupan. Sang calon bayi.
Kini sudah satu jam setelah kepergian Sasuke. Kopi bekas minumnya pun masih tergeletak di ruang tamu. Dia pun masih termangu di tempat yang sama. Namun keputusannya telah bulat. Jalan yang ditempuhnya mungkin akan banyak batu penghalang. Meski memegang erat pada tali ketakutan pun Hinata masih harus menjalaninya.
Getir. Air mata turun bersamaan dengan hujan. Menatap sendu perutnya yang rata, pada sang calon bayi yang belum ada di sana.
"Maafkan Mama, Sayang."
.
.
.
Panas matahari menghangatkan ruangan kamar melalui sela-sela tirai. Burung-burung pun sudah pergi mencari makan. Hari sudah agak sedikit siang ketika Hinata terbangun. Seusai bergegas membersihkan diri, ia pun turun untuk pergi sarapan. Berhubung hari ini dapat kebagian tugas malam, dia akan ke sesuatu tempat sebelum ke tempat kerja. Hari ini dia berencana pergi ke pemakaman Madara.
"Selamat pagi, Hinata-sama!"
"Selamat pagi, Ebisu-san!"
Senyuman sontak terpatri di bibirnya. Tanpa terasa, setelah melewati minggu ini dia tak akan sarapan sendiri lagi. Tak ada kesunyian yang memeluknya. Suara denting piring di meja makan pun tak akan miliknya seorang.
Hinata dan Sasuke telah bersepakat. Selama setahun mereka akan memainkan peranan suami-istri. Membayangkan minggu depan giliran waktu Sasuke bersamanya membuatnya berdebar. Benaknya dari semalam telah sibuk memikirkan makanan seperti apa yang harus dimasaknya.
'Dia suka makan apa ya?' Batinnya menimbang seraya melihat jam di tangannya, Hinata lantas menghabiskan nasi di mangkuknya dan bersegera pergi.
Sebelum tiba ke tempat yang ingin Hinata tuju, ia mampir dulu ke toko bunga langganannya. Sebuket bunga lili adalah pilihannya, bunga yang diketahui Hinata selalu berada di kamar almarhum Uchiha Madara dulu.
Lili putih yang murni. Lili putih kesayangan, begitu almarhum Madara berucap dulu.
Untuk menuju ke pemakaman, Hinata memilih naik kereta shinkansen. Butuh setengah jam untuk sampai ke sana. Hingga ia tiba di sana, pemakaman yang selalu di cap sebagai tempat yang sunyi dan seram itu malah membawa ketenangan baginya kini.
"Aku datang, Kakek." Hinata tersenyum, ia lantas menaruh buket bunga itu di depan batu nisan.
"Aku sudah memutuskan sesuatu bersama Sasuke-kun." Ujarnya sendiri.
Hinata pun tak bisa menahan, dia berbicara semuanya di depan makam Madara. Menceritakan mengenai dirinya dengan Sasuke. Bagaimana perasaannya yang kalut seakan lepas. Bebannya pun seakan rontok. Semasa Madara masih hidup, dialah teman terbaik untuk berkeluh kesah.
"Aku harap aku tak salah jalan, Kek. "
Hinata meremas jari-jemarinya. Menatap intens batu nisan itu. Keputusan perjanjian itu telah final, hanya saja ada perasaan kurang tepat mengganjal hatinya.
Panas kini begitu menyengat, membakar kulit Hinata yang mengenakan kaos tanpa lengan itu. Rumput-rumput yang tumbuh liar di sekitarnya ia cabut lalu ia siramkan air ke atas batu nisan. Sekiranya telah bersih, Hinata tersenyum puas. Tak lupa do'a untuk almarhum pun dia panjatkan.
Tapi sebelum Hinata beranjak pamit, dia melihat sesuatu yang baru disadarinya. Di sela-sela dekat sebuah wadah dupa, terkubur oleh debu, ada secarik kertas yang tampak kusam terabaikan.
Sepertinya itu sudah ada setelah Hinata mengunjunginya bulan lalu. Hinata sejenak melihat sekeliling. Pemakaman yang tak ada seorang pun, memaksa instingnya selalu tetap waspada. Manik bulannya menatap curiga objek itu. Perlahan pasti ia menarik dan membuka kertas itu. Tinta yang tertulis di atas kertas itu tampak memudar terkena air hujan.
'Desember. NS'
Desember?
Ada apa dengan Desember?
Dan saat melihat inisialnya, Hinata bisa menebak siapakah gerangan yang menulis. Apa mungkin pria itu akan menemuinya di bulan Desember nanti?
Pesan ini terlalu singkat pikir Hinata. Lagipula bisa-bisanya pria itu menyimpannya di tempat seperti ini. Bagaimana kalau Hinata tak datang dalam waktu yang lama. Sedangkan bulan Desember tinggal beberapa bulan lagi.
Nara Shikamaru. Detektif polisi yang sebenarnya tengah menyamar jadi seorang pengacara. Hal ini hanya diketahui olehnya dan Madara. Pria itu sebenarnya tengah menyelidiki kematian tiba-tiba seorang Menteri yang sepertinya melibatkan Uchiha Fugaku.
Shikamaru berspekulasi bahwa seorang menteri yang baru menjabat telah melakukan pembunuhan berencana. Uchiha Fugaku bisa dikatakan sebagai eksekutornya. Dulu, Hinata pikir ini bukan urusannya. Namun, hingga suatu insiden terjadi. Ada sesuatu yang tak diketahui oleh keluarga Uchiha yang lainnya, bahwa kematian Madara yang tiba-tiba adalah ulah anaknya sendiri.
Dan insiden ini pun terjadi di depan mata kepalanya sendiri. Sungguh ingatan yang buruk untuk dikenang. Untungnya tak butuh lama Hinata untuk mengobati traumanya. Akan tetapi kejadian itu masih membekas segar di ingatannya. Jika saja tak punya keyakinan kuat untuk melindungi Itachi, mungkin saat ini Hinata masih mengurung diri dari dunia.
"Shikamaru juga harus tahu tentang perjanjian ini," bisiknya pada angin.
Hinata kembali melihat ke sekelilingnya. Ia pun meremukkan kertas dan menyimpannya ke dalam saku rok panjangnya. Kembali memasang kacamata dan mengangkat payungnya, ia berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Tapi, ia tak sadar bahwa mata-mata Sasuke telah membuntutinya sejak keluar dari rumah.

Komentar
Posting Komentar